Coba anda baca dan renungkan
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS. Al baqarah : 155)
Tak pernah aku bayangkan, sesuatu yang menjadi bagian takdir, rencana
Ilahi, didudukkan di pundakku sebagai sebuah kesalahan. Dan, dalam
kesedihan kehilangan, aku mendapatkan bencana lain, dicap sebagai
"pembunuh". Sesuatu yang tak pernah, tak akan pernah, terlintas dalam
pikiranku. Tapi aku tak lagi bisa menolak... Bukankah rencana manusia
memang hanya sekrup kecil dari rencana Tuhan.
Aku Risma (30), menikah, guru di sekolah swasta. Suamiku Farhan (31),
bekerja di perusahaan kontraktor. Kemampuannya dalam desain interior dan
gambar membuat kariernya cepat melesat. Ini berdampak langsung pada
kemampuan finansial kami. Karena itu, jika semula kami berencana tak
memiliki momongan saat menikah 6 tahun lalu, tapi di tahun kedua,
rencana itu kami batalkan. Di tahun ketiga pernikahan, aku telah
memberinya kado mungil yang luar biasa, seorang bayi perempuan yang
cantik. Bayi itu kami namakan Farhis, gabungan namanya dan namaku. Dan,
jadilah hari-hari kamu bergembira dengan bayi kami yang tumbuh subur,
cantik. Tak ada hari libur yang tidak kami habiskan bersama. Tak ada
gerak sedikit pun dari Farhis yang tidak kami ketahui. Farhan apalagi,
setelah ada anakku, barangkali aku jadi wanita kedua di hatinya.
Kasihnya melimpah luar biasa. Dan aku senang, aku bangga. Farhis usia
setahun, kami sudah memiliki rumah, dan kutinggalkan rumah ayah-ibu di
pedurungan. Kami tempti rumah tipe 45 di perumahan Semarang Atas. Mobil
pun segera dibeli Farhan, meski dengan cara kredit. Alasannya, ia selalu
tak tega membawa Farhis jalan-jalan dan kepanasan.
Aku pun setuju. Apalagi, kalau sudah menyangkut urusan Farhis, tak ada
yang dapat membantah Farhan. Ia bahkan sudah menabung untuk keperluan
anakku, mulai rencana sekolah, sampai urusan-urusan yang menurutku masih
akan berpuluh tahun lagi akan kami hadapi. Tapi semua aku setujui saja,
karena aku tahu, barangkali itulah wujud kasih sayangnya. Oh ya, Farhan
anak tunggal, sehingga kehadiran Farhis membuat dia segara mendapatkan
kesempatan punya "adik". Mertuaku pun sayang luar biasa pada cucunya
ini.
Namun, rencana manusia memang hanya sekrup kecil dari rencana Tuhan. Di
balik kegembiraan kami, tersimpan duka yang luar biasa besar, yang
tengah menanti. Tepatnya setahun lalu. Usia Farhis sudah 2,5 tahun. Ia
sedang nakal-nakalnya, dan sedang menggemaskan. Farhan jangan ditanyakan
lagi besarnya cintanya pada anak kami ini. Dan, tak ada liburan yang
tidak kami habiskan bertiga. Tapi, hari itu, bencana memang tengah
dipersiapkan untuk kami. Kini aku dapat sadari hal itu.
Minggu, dan kami dapat undangan pernikahan di Demak. Kenalanku semasa
kuliah menikah. Dan aku sudah menjanjikan akan datang. Farhan pun yang
kebetulan kenal, juga sudah memberi lampu hijau. "Sekalian, membawa
Fehis jalan-jalan," katanya. Kembali, soal Farhis dia tak lupa. Tapi,
malam Minggu itu, Farhan panas. Flu dan demam menyerangnya. Ketika pagi,
meski dia sudah agak mendingan, tetap saja tubuhnya terasa lemah. Aku
pun tak tega mengajaknya pergi. Maka, kuberanikan diri untuk pergi
sendiri. Farhan menolak. Dia meminta aku menunggu sampai jam 10 siang,
menunggu kondisi tubuhnya lebih baik. Aku setuju.
Nyatanya, Farhan tetap saja lemah. Untuk menyetir, jelas dia tidak
mampu. Dia pun usul untuk membatalkan memenuhi undangan itu. Tapi aku
menolak. Setelah "berdebat" sedikit, dengan agak berat, dia mengizinkan
aku pergi. Sendiri. Aku protes lagi. Aku ingin Farhis ikut, karena nanti
siapa yang akan mengurus dia. Lagi pula, dengan tubuh ayahnya yang
masih lemah, aku tak ingin merepotkan suamiku. Belum lagi kalau Farhis
nanti buang air atau menangis, kasihan Farhan. Kami berdebat lagi, dan
aku kembali "menang". Dengan sebal, Farhan mengizinkan. Dia pun ikut
mengantar kami sampai gerbang, sebelum aku pergi dengan Farhis di
samping kiriku.
Dan rencana Tuhan terjadi. Aku tak ingat pasti bagaimana ceritanya.
Cuma, sewaktu dekat Sayung, perbatasan Demak-Semarang, ketika aku
bermaksud memotong sebuah truk yang jalan terlalu lambat, ternyata ada
bus yang tiba-tiba juga memotong dari arah berlawanan. Posisi mobilku
yang sudah separoh jalan memotong membuat aku panik. Untuk melalui
nyaris tak akan dapat, untuk mengerem, aku juga tak yakin. Dan dalam
kepanikan sepersekian detik itulah, aku nekat menambah kecepatan,
bermaksud memotong truk itu. Berhasil, itulah yang kukira, tapi nyatanya
tidak. Bus itu yang juga melaju kencang, menyentuh sisi kanan mobilku,
meski tidak keras, benturan itu menimbulkan goncangan yang cukup kuat,
dan aku tak tahu pasti, cuma tiba-tiba aku merasa seperti mendapat
sorongan keras dari belakang, dan mobilku tanpa terhindarkan melesat
meninggalkan badan jelan, melesak ke sisi trotoar, dan berhenti ketika
menabrak pohon. Selebihnya, gelap. Aku pingsan.
Ketika sadar, aku di rumah sakit. Di sisiku hanya ada mertua, dan orang
tuaku. Farhan tak ada. Dan ketika aku tanyakan, semua hanya diam. Mertua
perempuanku yang menangis, merangung dan memeluki diriku. Ayahku hanya
diam, juga mertua lelakiku. Tapi aku tahu, mereka juga menangis. "Ada
apa? Kenapa? di mana Farhan? Farhis, anakku? Gimana dia?" begitu
pertanyaanku meluncur, dan tak ada jawaban. Tapi aku telah tahu sesuatu,
aku telah merasa, dan benarlah. Ya, Allah.... Anakku...
Dari ayah, aku tahu, Farhis telah tiada. Aku pingsan lagi. Ketika sadar,
aku hanya meronta-ronta, menjerit-jerit, dan hanya ayah yang ada untuk
menenangkanku. Mertua dan Farhan mengurus pemakanan anakku, yang tak
dapat kuhadiri, karena aku tak bisa bergerak. Rusukku retak, dan kakiku
patah, juga memar yang parah di kepala dan pinggulku. Aku hanya bisa
menangis, menangis. Dari cerita ayah kemudian, aku ternyata pingsan
berkali-kali.
Kenapa Farhis meninggal, padahal benturan itu tidak keras, juga tabrakan
dengan pohon itu pun perlahan, selalu itu yang jadi pertanyaanku. Tapi,
kata ayah, anakku terlontar karena tak memakai sabuk pengaman. Dan,
meski dokter telah berusaha, pendarahan di kepalanya membuat nyawanya
tak tertolong. (Dulu, aku meraung saat mendengar cerita ini...)
Kini sudah setahun hal itu berlalu. Rasa kehilanganku belum juga sembuh.
Masih terbayang semua tentang anakku, jelas, sangat jelas. Tapi, sakit
karena kehilangan itu tak cukup, aku juga kehilangan Farhan. Begitu aku
sembuh dan boleh pulang 3 minggu kemudian, aku tahu, sudah ada yang
salah dengan suamiku. Dari dia yang tak menjemput, dan tak menungguiku
di rumah sakit, aku tahu, Farhan menyalahkanku atas kejadian itu. Tapi,
begitu sampai rumah, aku tahu lebih parah lagi, ternyata Farhan bahkan
mengganggap aku sebagai "pembunuh" Farhis. Dia pernah marah dan
membentak-bentakku, "Kenapa tidak kamu saja yang mati?! Kenapa harus
Farhis, kenapa bukan kamu??" Ya Tuhan... aku menangis saat dia
mengatakan itu. Aku kehilangan suamiku, aku telah kehilangan anak,
suami, dan juga kebahagiaanku.
Aku telah minta maaf ke Farhan. Aku katakan, "Jika memang boleh memilih,
aku akan bersedia menggantikan nyawa anakku. Aku yang akan ikhlas mati,
bukan anakku. Tapi ini takdir. Tolong jangan salahkan aku, tolong...
Aku pun kehilangan anakku, bukan Mas saja, kita punya kesedihan yang
sama..." Tapi nihil, aku tak pernah di dengar. Farhan hanya berucap,
"Seandainya kamu tak pergi ke undangan itu... seandainya kamu patuh pada
suamimu,..." Ohh.. untuk urusan takdir, dapatkah kita bicara
"seandainya..."
Kini telah setahun, dan hubunganku kian kacau dengan Farhan. Ia jadi
pemamun, dan kusut. Aku sering menemukan dia menangis. Dan aku tahu,
lebih daripada menyalahkan aku, dia pun menyalahkan dirinya sendiri.
Hubungan kami beku. Nyaris tanpa komunikasi. Hanya kehadiran mertua yang
membuat kami bisa membuat rumah ini serasa hidup lagi. Selebihnya, aku
telah sungguh-sungguh kehilagnan anakku, suami, dan kepercayaannya. Aku
tak tahu lagi, entah bagaimana cara bisa menjalani hidup ini....
Kontributor : Ary Suyatmoko Ary.Suyatmoko@snsgroup.co.id
------------
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai
cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS. Al
Anfaal : 28)
--------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar